Conto Masyarakat Sunda Yaitu Masyarakat Baduy yang mengelola Hutan dan Lingkungan
Masyarakat Baduy adalah kelompok masyarakat Sunda yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak, 2001). Masyarakat Baduy ini merupakan salah satu suku di Pulau Jawa yang hidupnya mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh oleh kegiatan pembangunan. Di perkampungan Baduy tidak ada listrik, tidak ada pengerasan jalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya sangat sederhana. Aturan adat melarang warganya untuk menerima modernisasi pembangunan. Untuk mencapai ke lokasi pemukiman, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak tanpa pengerasan. Masyarakat Baduy menempati wilayah seluas 5.101,8 hektar berupa hak ulayat yang diberikan oleh pemerintah.
Pola kehidupan masyarakat Baduy sangat ditentukan oleh aturan-aturan dan norma-norma yang berperanan penting dalam proses kehidupan sosial mereka, yang membentuk homogenitas prilaku dan sosial ekonomi masyarakatnya. Hikmahnya agar mereka mampu memperkokoh benteng kehidupan anak turunan, menjalin tatanan hidup yang terus berkesinambungan dan dominan. Aturan dan norma itu dijabarkan dalam suatu hukum adat, yang berperan sebagai alat pengayom bagi seluruh warga sehingga mampu menggiring semua warganya kepada tertib hukum, untuk mampu mematuhi hak dan kewajibannya. Mampukah aturan adat masyarakat Baduy bertahan dalam kondisi modernisasi yang pesat dengan luas lahan pertanian yang dimilikinya terbatas ?
Perubahan sosial dan budaya masyarakat Baduy dikatagorikan ke dalam perubahan statis, karena perubahan sosial yang terjadi sangatlah lambat. Sampai sekarang terlihat pola kehidupan yang sangat berbeda dengan masyarakat luar pada umumnya. Walaupun demikian, sengaja atau tidak disengaja telah terjadi perubahan sosial di pemukiman masyarakat Baduy. Perubahan penentuan masa bera lahan pertanian yang semula 7 tahun ke atas, sekarang hanya 5 tahun bahkan 3 tahun merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan itu. Pertambahan penduduk yang menyebabkan berkurangnya lahan garapan adalah pangkal dari terjadinya perubahan sosial ini; karenanya itu masyarakat Baduy mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mempertahankan hidupnya.
Saat ini terlihat perbedaan yang jelas pada kehidupan masyarakat Baduy-Luar dan Baduy-Dalam. Perubahan status masyarakat telah terjadi pada kehidupan masyarakat Baduy. Awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut bertapamenjaga alam lingkungannya; sekarang ini hanya Baduy-Dalam yang tugasnyabertapa, Masyarakat Baduy-Luar tugasnya hanya ikut menjaga dan membantutapanya orang Baduy-Dalam. Masyarakat Baduy-Luar mulai diperbolehkan mencari lahan garapan ladang di luar wilayah Baduy dengan cara menyewa tanah, bagi hasil, atau membeli tanah masyarakat luar. Untuk menambah pendapatannya pada lahan mereka di luar Baduy, diperbolehkan ditanami beberapa jenis tanaman perkebunan seperti cengkeh, kopi, kakao, dan karet yang di wilayah Baduy dilarang. Hubungan yang terbina karena “bisnis” sewa menyewa dan jual beli ladang, membentuk suatu interaksi yang cukup antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar. Interaksi ini berdampak pada perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy-Luar sudah mulai memakai baju buatan pabrik, kasur, gelas, piring, sendok, sendal jepit, blue jeans, sabun, sikat gigi, senter, dan patromaks; bahkan sudah cukup banyak masyarakat Baduy yang telah menggunakan telepon seluler. Larangan penggunaan kamera dan video camera hanya berlaku pada masyarakat Baduy-Dalam; sedangkan pada Baduy-Luar sudah sering stasiun TV mengekspose kehidupan mereka. Beberapa masyarakat di Baduy-Luar sudah ada yang berdagang di kampungnya masing-masing. Dalam hal kepemilikan lahan, yang semula semua lahannya milik adat, khusus di Baduy-Luar telah menjadi milik perorangan dan bisa diperjualkan sesama orang Baduy.
Dinamika sosial dan budaya masyarakat Baduy berdampak juga pada pengelolaan hutan, lahan, dan lingkungannya. Peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan berkurangnya luas kepemilikan lahan pertanian setiap keluarga, selalu menjadi perhatian ketua adat. Masyarakat Baduy-Luar yang sudah tidak memiliki lahan pertanian di dalam wilayah Baduy diharuskan mengolah lahan di luar wilayah, sedangkan masyarakat Baduy-Dalam mulai memperpendek masa bera lahannya. Ketua adat Baduy selalu mengingatkan kepada seluruh warganya untuk tidak membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian. Musyawarah tentang larangan membuka hutan selalu disampaikan setiap tiga bulan sekali yang dihadiri oleh seluruh kepala kampung Baduy. Pertemuan rutinan itu dilanjutkan dengan pemeriksaan seluruh batas kawasan hutan Baduy untuk melihat kondisi hutannya dan mengingatkan tentang batas-batas kawasan hutan kepada seluruh warga Baduy.
Bertambahnya jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan kayu pertukangan untuk membuat rumah. Satu rumah untuk keluarga Baduy rata-rata membutuhkan 300 batang kayu tiang (10 cm x 10 cm x 3 m), 150 batang kayu papan (10 cm x 2,5 cm x 3 m), 30 lembar bilik bambu (2,7 m x 3 m), 600 lembar atap daun kirai, dan 30 batang bambu untuk lantainya (palupuh). Bahan untuk membuat atap rumah, bilik, dan lantai tidak menjadi permasalahan karena jumlahnya melimpah dan mudah untuk dibudidayakan. Kebutuhan akan kayu pertukangan yang menjadi masalah dalam membuat rumah. Awalnya kebutuhan kayu pertukangan dapat diperoleh dari ladangnya yang sudah di-bera-kan lebih dari 10 tahun. Ladang yang di-bera-kan lebih dari 10 tahun akan menghasilkan jenis-jenis kayu yang dapat digunakan untuk tiang seperti kayu kecapi, kihiang, dan sebagainya. Namun, dengan perubahan masa bera menjadi 5 tahun, jenis-jenis kayu tersebut belum layak untuk dijadikan tiang. Untuk mengatasi hal tersebut, aturan adat yang semula melarang menanam tanaman kayu di ladang berangsur-angsur mulai mengendur. Dalam lima belas tahun terakhir ini, masyarakat Baduy-Luar diperbolehkan menanam tanaman kayu di ladangnya. Jenis tanaman kayu yang ditanam masyarakat Baduy-Luar di ladangnya diantaranya adalah sengon, mahoni, kayu afrika, sungkai, aren, dan mindi. Tanaman kayu tersebut akan ditebang pada saat akhir masa bera. Kayu hasil penebangannya ada yang dipakai sendiri dan ada pula yang sebagian dijual ke masyarakat luar. Dari sisi konservasi, penanaman jenis-jenis tanaman kayu selama menunggu masa bera dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sekaligus melindungi tanah dan lahannya dari erosi; sedangkan dari segi ekonomi akan meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus mengatasi masalah kekurangan kayu. Saat ini, seluruh lahan yang dikelola oleh masyarakat Baduy-Luar ditanami tanaman kayu yang penanamannya dilakukan bersamaan pada saat menanam padi. Untuk di Baduy-Dalam, penanaman jenis tanaman kayu di ladang tetap dilarang; hanya saja masyarakat diperbolehkan mengambil kayu di hutan dengan batasan diameter yang boleh ditebang tidak lebih dari 20 cm.
Negeri penuh bencana alam
Saat ini, bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, serangan hama penyakit tanaman dan lain sebagainya seakan telah menjadi sahabat bangsa ini setiap tahunnya. Alam yang ramah dengan untaian mutu manikam di garis Khatulistiwa seakan tinggal kenangan dan cerita masa lalu bangsa ini. Dari mana dan kapan bencana alam ini dimulai ? Obrol-obrolan “orang tua” mengatakan bencana alam ini mulai marak pada tahun “sembilan puluhan” dan terus berlanjut sampai sekarang ini. Alam sudah tidak bersahabat lagi dengan penghuninya.
Tahun “sembilan puluhan”, dalam dunia kehutanan, merupakan perayaan ulang tahun keduapuluhan pembabatan hutan di Indonesia. Forest Watch Indonesia (2004) melaporkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2 juta hektar per tahun atau sekitar 4 hektar hutan ini rusak setiap menitnya. Dengan hitungan matematik, saat ini sudah sekitar 60-an juta hektar hutan Indonesia yang rusak, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan sebagian Papua. Kerusakan hutan ini diakibatkan karena pemberian ijin ekploitasi hutan, illegal logging, perambahan oleh masyarakat, dan alif fungsi hutan untuk tujuan lain seperti pertambangan, perkebunan, pemukiman, transmigrasi, dan sebagainya. Wajar saja, bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, silih berganti datang setiap saat, menyebar di seluruh Nusantara ini.
Hutan merupakan sumberdaya alam yang berfungsi mengatur tata air dan penyeimbang ekosistem bumi. Ekosistem hutan diibaratkan sebagai “busa raksasa” yang bisa menyerap air pada saat air melimpah (musim hujan) dan melepaskan air pada saat airnya sedikit (musim kemarau). Rusaknya hutan di negeri ini, telah mengganggu mekanisme “busa raksasa”, sehingga bencana banjir dan tanah longsor akan selalu hadir pada musim penghujan, dan kekeringan serta kekurangan air bersih akan muncul pada musim kemarau. Prof. Hasanu Simon, seorang Begawan Kehutanan dari Universitas Gadjah Mada, mengutarakan bahwa hilangnya hutan di bumi ini menimbulkan “energi liar” dari sinar matahari yang semestinya diserap oleh vegetasi hutan. Energi liar tersebut diserap oleh bumi, dipantulkan di udara bebas, hasilnya bumi bergetar timbul-lah bencana gempa bumi, badai, angin puting beliung lokal dan sebagainya.
Bagaimana masyarakat Baduy mengelola hutan dan lingkungannya ?
Masyarakat Sunda Baduy merupakan sebutan yang diberikan bagi masyarakat Sunda yang hidupnya mengasingkan diri dari keramaian di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Sebutan lainnya adalah orang Rawayan atau orang Kanekes. Pemerintah memberi hak ulayat kepada masyarakat Baduy untuk mengolah lahan dan lingkungannya seluas 5.101,8 hektar sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 13 tahun 1990, dan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Bagi masyarakat Baduy, pemberian hak ulayat ini seperti pengakuan yang diberikan oleh Kerajaan Banten pada masa lampau, dimana mereka berhak mengatur tatanan hidupnya dalam segala hal dan setiap satu tahun sekali memberi upeti pada penguasa. Masyarakat Baduy mempunyai struktur tatanan hukum adat yang tunduk dan patuh kepada tiga puun sebagai satu kesatuan (trias politica), sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan adat yang berada di Kampung Cikeusik, Kampung Cibeo, dan Kampung Cikartawana. Sistem struktur hukum adat di perkampungan masyarakat Baduy memegang peranan penting dalam mengayomi semua lapisan warganya baik dalam bidang kemasyarakatan ataupun dalam mengelola lingkungan alamnya.
Jumlah penduduk Baduy di wilayah Desa Kanekes sampai dengan bulan Juni 2009 adalah 11.172 jiwa terdiri dari 2.948 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di 58 kampung. Struktur masyarakat Baduy dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu masyarakat Baduy-Dalam (Baduy Tangtu) dan Masyarakat Baduy-Luar (Baduy Panamping). Wilayah Baduy-Dalam memiliki luas 1.975 hektar dengan jumlah penduduk 1.083 orang (281 KK) yang tersebar di tiga kampung; sedangkan wilayah Baduy-Luar luasnya 3.127 hektar dengan jumlah penduduk 10.089 (2.667 KK) tersebar di 55 kampung. Masyarakat Baduy tidak mengenal sistem pendidikan atau sekolah formal. Adat melarang warganya untuk bersekolah. Mereka berpendapat bila orang Baduy bersekolah akan bertambah pintar, dan orang pintar hanya akan merusak alam sehingga akan merubah semua aturan yang telah ditetapkan. Pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat Baduy lebih banyak dilakukan melalui ujaran-ujaran yang disampaikan oleh orang tuanya, terutama tentang buyut karuhun (larangan leluhur) tentang bagaimana memanfaatkan alam lingkungannya. Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang padi tanah kering. Sistim perladangannya adalah berladang berpindah dengan masa bera (mengistirahatkan lahan), pada saat ini, selama 5 tahun. Mata pencaharian sampingan saat menunggu waktu panen atau waktu luang adalah membuat kerajinan tangan dari bambu (asepan, boboko, nyiru, dll), membuat koja (tas dari kulit kayu), masuk ke dalam hutan mencari rotan, pete, ranji, buah-buahan dan madu, berburu, membuat atap dari daun kirai, membuat alat pertanian seperti golok dan kored.
Kegiatan utama masyarakat Baduy dalam menjalani hidup, pada hakekatnya terdiri dari pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan pengelolaan serta pemeliharaan hutan untuk perlindungan lingkungan. Oleh karena itu tata guna lahan di Baduy dapat dibedakan menjadi : lahan pemukiman, pertanian, dan hutan tetap. Lahan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk berladang dan berkebun, serta lahan-lahan yang diberakan. Hutan tetap adalah hutan-hutan yang dilindungi oleh adat, seperti hutan lindung (leuweung kolot/titipan), dan hutan lindungan kampung (hutan lindungan lembur) yang terletak di sekitar mata air atau gunung yang dikeramatkan, seperti hutan yang terletak di Gunung Baduy, Jatake, Cikadu, Bulangit, dan Pagelaran. Hutan tetap ini merupakan hutan yang selalu akan dipertahankan keberadaannya.
Dalam pemanfaatan lingkungannya, masyarakat Baduy sangat patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti : (1) dilarang merubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengatur drainase, dan membuat irigasi; pertanian padi sawah dilarang, (2) Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk membuat sumur, meratakan tanah untuk pemukiman, dan mencangkul tanah untuk pertanian. Rumah masyarakat Baduy relatif sama; lantainya dari bambu (palupuh), atapnya dari daun kirai (hateup), dindingnya dari anyaman bambu (bilik), dan tiang-tiangnya dari kayu, (3) Dilarang masuk hutan titipan (leuweung titipan) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya. Masyarakat Baduy membagi tata guna lahannya menjadi dua fungsi utama, yakni kawasan perlindungan lingkungan (hutan lembur dan hutan titipan) dan kawasan budidaya (lahan pertanian dan pemukiman). Kawasan perlindungan lingkungan mutlak tidak bisa dialihfungsikan untuk kegiatan apa pun; (4) Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, obat pemberantas hama penyakit, menggunakan minyak tanah, mandi menggunakan sabun, menggosok gigi menggunakan pasta, dan meracun ikan; (5) Dilarang menanam tanaman budidaya perkebunan seperti : kopi, kakao, cengkeh, kelapa sawit, dan sebagainya, dan (6) Dilarang memelihara binatang ternak kaki empat, seperti kambing, sapi dan kerbau.
Aturan dan larangan yang dianut oleh masyarakat Baduy, seakan-akan merupakan hal yang mustahil terjadi di masyarakat umum. Namun inilah kenyataan yang terjadi di komunitas Masyarakat Baduy, yang jaraknya tidak mencapai 200 km dari Ibu Kota Jakarta. Makna dari larangan-larangan tersebut bisa dirasakan oleh masyarakat umum sekarang ini, mulai dari bendungan dengan banjirnya, sawah dengan hamanya, penebangan hutan dengan ekploitasi sumberdaya alam di dalamya, pupuk dan insektisida dengan pencemarannya, kopi dan sawit dengan pembabatan hutannya, dan sebagainya. Hikmah yang perlu diambil dari perilaku Masyarakat Baduy adalah kesederhanaan dan hilangkah keserakahan, cintailah lingkungan jangan alih fungsikan alam yang ada hanya karena untuk kesenangan sesaat.